JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang telah ditetapkan sejak 1 Januari 2014 masih banyak menemui kendala teknis. Salah satunya adalah tarif PBI ditetapkan oleh pusat Peraturan Presiden No. 12/2013 pasal 16 ayat 1 menyatakan bahwa: “Iuran jaminan kesehatan bagi peserta PBI jaminan kesehatan dibayar oleh pemerintah”. Artinya, besar iuran jaminan kesehatan bagi PBI ditanggung oleh pemerintah melalui alokasi dana dari APBN. APBN Kesehatan yang diamanatkan dalam UUD sebesar 5% belum pernah tercapai hingga hari ini. Kenyataannya , APBN kesehatan hanya bisa mencapai 2,8%, jauh lebih sedikit dari negara berkembang lain sekalipun. Padahal salah satu indikator negara maju, diukur dari Human Development Index, adalah tercapainya kesejahteraan rakyat, yang dalam hal ini bisa diartikan kesejahteraan dalam bidang kesehatan.
Dengan APBN kesehatan yang seminimal itu akan sulit untuk menyelenggarakan program kesehatan, apalagi jika ditambah dengan beban iuran PBI. Oleh karena itu, pemisahan anggaran untuk iuran PBI bisa dijadikan alternatif, sehingga pemerintah bisa lebih optimal dalam menjalankan program-programnya.
Permasalahan lainnya adalah sarana prasarana yang belum memadai. Ketika kita menengok sarana prasarana rumah sakit di daerah terpencil (pelosok), tentu jauh dari standar. Untuk bisa menjadi rumah sakit mitra BPJS, pihak rumah sakit dipaksa harus memenuhi poin-poin kriteria yang diwajibkan dalam aturan JKN, mulai dari sarana hingga jumlah tenaga kesehatan yang harus memadai.
Di wilayah terpencil (pelosok), keberadaan rumah sakit tunggal tentu akan menjadi tumpuan bagi masyarakat disekitarnya, yakni dalam hal pelayanan kesehatan. Rumah sakit yang berada di wilayah seperti ini mayoritas merupakan rumah sakit swasta, dimana mulai dari dana operasional, sarana prasarana, hingga gaji karyawannya bersifat apa adanya. Intinya rumah sakit swasta ini hidup secara mandiri, minim bantuan pemerintah.
Ketika rumah sakit swasta bersusah payah bertahan dari sisi finansial, pemerintah justru melontarkan peraturan yang semakin mencekik. Alhasil, ketika rumah sakit tidak mampu memenuhi standar yang berlaku, rumah sakit pinggiran harus terpaksa gulung tikar.
Ketika ada satu rumah sakit ditutup, lalu akan lari ke manakah dokter, perawat, dan karyawannya? Upaya pemerintah “yang katanya” ingin meratakan petugas kesehatan pun berakhir nihil. Di lain sisi, masyarakat di wilayah terpencil (pelosok) semakin direpotkan, untuk meminta bantuan kesehatan sebab rumah sakit swasta terdekat telah resmi gulung tikar.
Di sinilah, peran pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan. Pemerintah melalui kementrian kesehatan layaknya perlu memikirkan akses pelayanan kesehatan untuk semua masyarakat, tidak hanya di perkotaan namun juga yang berada di pinggiran.
Kementerian Kajian Strategis BEM FK UGM
Sumber gambar : www.berdikarionline.com